Konsili Kalsedon pada tahun 451

Kita ketahui dari sejarah bahwa di abad- abad awal telah terdapat ajaran- ajaran yang berusaha untuk menyederhanakan misteri ke-Tuhanan dan kemanusiaan Yesus, pada saat Ia menjelma menjadi manusia. Ajaran- ajaran sesat tersebut, memberikan pengajaran yang terlalu menekankan sisi ke-manusiaan Yesus, sehingga mengatakan Yesus bukan Tuhan; atau sebaliknya menekankan sisi ke-Tuhanan Yesus sampai ‘menelan’ sisi kemanusiaan-Nya, sehingga Yesus dianggap bukan sungguh manusia. Atau, ada pula ajaran yang mencampur adukkan kedua kodrat ini.

Nah untuk meluruskan hal ini, para uskup berkumpul pada konsili Kalsedon (451), yang menetapkan bahwa pada saat penjelmaan-Nya, Yesus mempunyai dua kodrat, yaitu kodrat Allah dan kodrat manusia, yang keduanya bersatu secara hypostatik: artinya masing- masing dapat mempunyai ciri- cirinya sendiri, tidak dapat dicampuradukkan, tidak terpisahkan, dan tidak terbagi- bagi. Konsili Kalsedon sekaligus mengecam ajaran- ajaran sesat Nestorius (yang memisahkan kedua kodrat dalam diri Yesus), Arians (yang menolak ke-Tuhanan Yesus), Monophysites (yang mengatakan bahwa keilahian dan kemanusiaan Yesus tergabung dalam satu kodrat), dst. Silakan klik di sini untuk membaca lebih lanjut tentang topik ini.

Setelah Konsili Kalsedon, terdapatlah dua kelompok besar dalam Kristianitas, yaitu mereka yang menerima pengajaran Konsili Kalsedon; yang disebut Chalcedonian Christianity, yaitu gereja- gereja dalam persekutuan dengan Gereja Katolik Roma, Gereja Konstantinopel dan Gereja Orthodox Yunani (Alexandria, Antiokhia dan Yerusalem). Sedangkan gereja- gereja yang menolak Konsili Kalsedon bergabung dalam gereja- yang menyebut diri sebagai gereja Orthodox Oriental, termasuk di sini gereja- gereja Armenia, Syria, Koptik dan Ethiophia. Menarik untuk dilihat bahwa kata ‘Orthodox’ itu sama- sama diklaim oleh gereja- gereja Timur yang menerima pengajaran Konsili Kalsedon dan juga oleh gereja- gereja yang menolak ajaran Kalsedon. Maka, sesungguhnya kita dapat bertanya, manakah yang benar- benar ‘orthodox’/ ‘lurus’ di sini.

Spine Center RSUP Fatmawati merupakan pelayanan terpadu kasus tulang belakang dimana Pasien akan ditangani bersama oleh tim Spine yang terdiri dari Dokter Spesialis Bedah Orthopedi, Rehabilitasi Medik, Syaraf, Radiologi serta Anestesi.

Sejak tahun 1970, RSUP Fatmawati telah lama melakukan perawatan tulang belakang, baik secara operatif maupun non-operatif dan perawatan rehabilitasi medis untuk gangguan / kelainan pada tulang belakang.

Pelayanan yang Anda dapatkan di Spine Center RSUP Fatmawati adalah :

- Penata laksanaan yang menyeluruh dan tepat guna oleh Dokter Spesialis yang tergabung dalam Tim Spine.

- Penegakan diagnose dengan pemeriksaan klinis dan pemeriksaan penunjang.

- Informasi medis dan informasi mengenai pencegahan berlanjutnya penyakit sesuai kebutuhan.

Beberapa kasus yang telah berhasil ditangani oleh Tim Spine adalah :

- Minimally Invasive Spine.

- Pelayanan Skoliosis secara konvensional dengan Brace.

- PELD (Pericutaneous Endoscopic Lateral Discectomy)

- Thoracoscopic Spine Surgery

Jawa Barat : RSUD Depok, RSUD Bekasi

Tangerang : RSUD Tangerang Selatan

Bekasi : RSUD Pasar Minggu

dr. Nursanti Subakir A. Madjid, SpRad (K)

Spine Center RSUP Fatmawati juga telah dilengkapi oleh fasilitas, peralatan serta pemeriksaan diagnostic berteknologi terkini yang mumpuni seperti Kamar Operasi khusus kasus Spine.

Agenda Kegiatan Ilmiah Mendatang

Webinar Live Spine Surgery dalam rangka HUT ke-56 RSUP Fatmawati - 18 April 2017

Katolik dan Kristen Protestan keduanya merupakan agama yang sama-sama menyembah Tuhan yang sama, yaitu Yesus Kristus tetapi memiliki prinsip iman yang berbeda. Pada awalnya, Katolik dan Protestan adalah satu agama, yaitu agama Katolik, tapi kok bisa ya sekarang terpecah menjadi dua kepercayaan? Nah, kita akan membahas secara lengkap dan singkat mengenai sejarah terpisahnya Katolik dengan Protestan dalam artikel ini.

Pernah mendengar nama Martin Luther?

Sobat cengkir pernah mendengar dan mengetahui Martin Luther? Martin Luther merupakan sosok dibalik perintis Reformasi Protestan. Reformasi terjadi dikarenakan adanya protes dari Martin Luther, ia perbuatan menyimpang dari para atasan Gereja Katolik. Martin Luther menganggap bahwa peraturan Gereja Katolik sudah tidak berjalan dengan semestinya dari Alkitab dan telah terjadi penyimpangan dari ajaran Tuhan. Oleh karena itu ada beberapa hal yang diprotes oleh Martin Luther di antaranya:

Apa saja yang diprotes?

Pada saat itu, para petinggi Gereja Katolik banyak yang melakukan penyogokan untuk mendapatkan kekuasaan dan kedudukan sosial yang tinggi.

Perilaku amoral dari Paus

dalam kedudukan atau Hierarki Gereja Katolik, seorang Paus merupakan sosok yang sangat dihormati dan menjadi teladan bagi umat-NYA. Paus merupakan pimpinan tertinggi dalam struktur organisasi  Gereja. Dalam ajaran Katolik, seorang Paus tidak boleh memiliki hubungan dengan lawan jenis, menikah, apalagi melakukan perzinahan, karena bertujuan untuk fokus melayani Tuhan saja. Maka ada istilah yang dikenal sebagai hidup selibat. Tapi, pada saat itu ternyata terdapat Paus Alexander VI yang mempunyai hubungan terlarang dengan seorang wanita dan menghasilkan 8 anak dari hubungan di luar nikah tersebut. Hal ini tentu perbuatan menyimpang.

Sakramen adalah ritual suci yang sakral dan harus dilakukan dengan benar, sakramen merupakan bagian sentral dari ajaran dan doktrin umat Katolik. Sakramen merupakan tanda kehadiran Allah dalam hidup manusia. Pada zaman Martin Luther,  sering disalahgunakan dan disembah secara berlebihan. Terlebih terhadap benda-benda keramat yang menimbulkan kepercayaan yang tidak masuk akal. Padahal menurut keyakinan Kristen, alat-alat sakramen hanyalah perantara untuk kita lebih dekat kepada Tuhan dan bukan menjadi sumber keselamatan. Kepercayaan yang berlebihan terhadap suatu benda sudah melanggar perintah Allah yaitu tidak boleh menyembah berhala.

Pada zaman itu, Paus Leo X memperjualbelikan surat pengampunan dosa di negara Jerman dengan maksud mencari dana tambahan untuk membangun Gereja Katolik termegah. Pada saat itu Jerman merupakan negara yang mayoritas penduduknya adalah petani dan mempercayai benda-benda keramat, serta agama Katolik memiliki pengaruh yang sangat besar.

Hal ini tidak sesuai dengan ajaran Alkitab, dimana dalam mendapat pengampunan dosa itu hanya bisa didapatkan dan diberikan oleh Allah saja, tidak ada hal lain yang dapat merubahnya. Penjualan surat pengampunan dosa ini dianggap sebagai tindakan korupsi.

Perpecahan Gereja Katolik dan Gereja Kristen

Alasan-alasan diatas memicu aksi Martin Luther yaitu menerbitkan serta menempelkan 95 tesis di depan Gereja Wittenberg pada 31 Oktober 1517, yang didalamnya menguraikan berbagai praktik penyalahgunaan Gereja. Hal ini dianggap sebagai awal mula penyebab perpecahan Gereja Katolik dan Reformasi pendirian Gereja Injili. Kemudian pada tahun 1520, Martin Luther meminta Kaisar Roma untuk segera mereformasi Gereja dan berhenti tunduk pada kekuasaan Paus.

Untuk meredam kemarahan dari Paus Leo X, Kaisar Charles X meminta Martin Luther untuk meminta maaf, tetapi menerima penolakan dan tetap bersikukuh bahwa apa yang ia katakan itu benar. Hal ini membawa Martin Luther pada pelariannya dan bersembunyi di Kastil Wartburg. Disana ia menerjemahkan Injil ke bahasa Jerman. Dengan perkembangan mesin ketik, mulai lah menyebar ajaran dari Martin Luther dan banyak orang yang setuju dan mendukung pemikiran Martin Luther.

Orang-orang yang mendukung pemikiran Martin Luther ini akhirnya menjadi pengikut yang dinamakan Protestan. Sehingga Katolik dan Kristen Protestan menjadi dua agama yang berbeda. Sehingga wajar jika keduanya memiliki banyak kesamaan, karena Kristen Protestan berasal dari satu agama yaitu Katolik. Tetapi perlu diingat Katolik dan Kristen Protestan tetap memiliki pendiriannya masing-masing dan tidak dapat disatukan. Perbedaan ini dapat dilihat dari perbedaan sakramen satu sama lain.

Sebagai umat Kristiani yang diajarkan untuk selalu menjaga perdamaian dan cinta kasih terhadap sesama, perpecahan dari kedua agama ini tidak boleh dijadikan sebagai ajang untuk menjelek-jelekan satu sama lain, melainkan menjadikan kita sebagai umat-NYA untuk belajar dari kesalahan-kesalahan yang telah dilakukan para petinggi-petinggi Gereja, dan tidak mengulanginya lagi di zaman sekarang. Mari sama-sama membangun dan memperkuat iman sesuai dengan ketentuan yang berlaku. Lalu sama-sama mengamalkan Firman Tuhan ke dalam kehidupan Sobat Cengkir sekalian.

© 2024 — Senayan Developer Community

Romo Yanto, O.Carm, tinggal di Filipina

Rancang situs seperti ini dengan WordPress.com

Gereja Katolik dan Gereja Ortodoks Timur telah berada dalam perpecahan resmi satu sama lain sejak Skisma Timur-Barat tahun 1054. Perpecahan ini disebabkan oleh perbedaan sejarah dan bahasa, serta perbedaan teologis antara gereja-gereja Barat dan Timur.

Perbedaan teologis yang utama dengan Gereja Katolik adalah keutamaan kepausan[3] dan klausa filioque. Dalam spiritualitas, keberlangsungan perbedaan esensi-energi neo-Palamisme dan visi pengalaman Tuhan sebagaimana dicapai dalam theoria dan theosis masih diperdebatkan secara aktif.

Meskipun abad ke-21 menyaksikan pertumbuhan sentimen anti-Barat dengan munculnya neo-Palamisme, "masa depan pemulihan hubungan Timur-Barat tampaknya mengatasi polemik modern neo-skolastisisme dan neo-Palamisme".[4] Sejak Konsili Vatikan Kedua, Gereja Katolik secara umum mengambil pendekatan bahwa perpecahan pada dasarnya bersifat eklesiologis, bahwa ajaran doktrinal gereja-gereja Ortodoks Timur secara umum masuk akal, dan bahwa "visi persekutuan penuh harus diwujudkan." yang dicari adalah kesatuan dalam keberagaman yang sah"[5] seperti sebelum perpecahan.[6]

Kedua gereja menerima keputusan tujuh Konsili Ekumenis pertama dari Gereja yang tidak terbagi. Ini adalah:

Oleh karena itu ada kesepakatan doktrinal tentang:

Kedua gereja tersebut menolak banyak doktrin Protestan, beberapa contoh penting di antaranya adalah ajaran keselamatan melalui iman saja dan sola scriptura.

Gereja Katolik dan Gereja Ortodoks Timur telah berada dalam perpecahan resmi satu sama lain sejak Skisma Timur-Barat tahun 1054. Perpecahan ini disebabkan oleh perbedaan sejarah dan bahasa, serta perbedaan teologis antara gereja-gereja Barat dan Timur.

Kekaisaran Bizantium menarik diri secara permanen dari Kota Roma pada tahun 751, sehingga mengakhiri Kepausan Bizantium. Keterasingan timbal balik antara masyarakat Timur yang berbahasa Yunani dan masyarakat Barat yang berbahasa Latin menyebabkan meningkatnya ketidaktahuan mengenai perkembangan teologis dan eklesiologis dari masing-masing tradisi.

Gereja Timur dan Gereja Barat masing-masing menggunakan bahasa Yunani dan Latin sebagai media komunikasi mereka. Terjemahan tidak selalu sama persis. Hal ini juga menyebabkan kesalahpahaman.

Keutamaan kepausan, juga dikenal sebagai "keutamaan Uskup Roma", adalah sebuah doktrin gerejawi mengenai rasa hormat dan wewenang yang menjadi hak Paus dari para uskup lain dan tahta keuskupan mereka .

Dalam Gereja-Gereja Ortodoks Timur, beberapa orang memahami bahwa keutamaan Uskup Roma hanyalah salah satu kehormatan yang lebih besar, menganggapnya sebagai primus inter pares ("yang pertama di antara yang sederajat"), tanpa kekuasaan yang efektif atas gereja-gereja lain. Namun, para teolog Kristen Ortodoks lainnya memandang keutamaan sebagai kekuasaan otoritatif: ekspresi, manifestasi, dan realisasi dalam diri seorang uskup atas kekuasaan semua uskup dan kesatuan Gereja.

Gereja Katolik menganggap keutamaan Paus adalah “kekuasaan penuh, tertinggi, dan universal atas seluruh Gereja, suatu kekuasaan yang selalu dapat dijalankannya tanpa halangan,”[9] dengan kekuasaan yang juga diatribusikan kepada seluruh badan para uskup. bersatu dengan Paus.[10] Kekuasaan yang dikaitkan dengan otoritas utama Paus mempunyai keterbatasan yang bersifat resmi, legal, dogmatis, dan praktis.

Dalam Dokumen Ravenna yang dikeluarkan pada tahun 2007, perwakilan Gereja Ortodoks Timur dan Gereja Katolik bersama-sama menyatakan bahwa baik Timur maupun Barat menerima fakta keutamaan Uskup Roma pada tingkat universal, namun terdapat perbedaan pemahaman tentang bagaimana keutamaan tersebut. harus dilaksanakan dan tentang landasan kitab suci dan teologisnya.

Perbedaan mengenai doktrin ini dan pertanyaan tentang keutamaan kepausan telah dan masih menjadi penyebab utama perpecahan antara gereja-gereja Ortodoks Timur dan gereja-gereja Barat. Istilah ini terus menjadi sumber konflik antara Kekristenan Timur dan Kekristenan Barat, yang sebagian besar berkontribusi terhadap Skisma Timur-Barat tahun 1054 dan terbukti menjadi hambatan dalam upaya menyatukan kembali kedua belah pihak.[13][14][15]

Filioque (harafiah "dan [dari] Putra"[16][diskusikan] adalah sebuah istilah Latin yang ditambahkan pada Pengakuan Iman Nicea-Konstantinopolitan (umumnya dikenal sebagai Pengakuan Iman Nicea ), yang tidak ada dalam versi Yunani aslinya. Istilah Latin Filioque diterjemahkan ke dalam klausa bahasa Inggris "dan Putra" dalam kredo itu:

Filioque diterjemahkan ke dalam klausa bahasa Inggris "dan Putra" dalam kredo itu:

Filioque tidak termasuk dalam bentuk Pengakuan Iman Nicea-Konstantinopel yang digunakan di sebagian besar gereja Kristen Barat, pertama kali muncul pada abad ke-6.[17][kontradiktif] Hal ini baru diterima oleh Paus pada tahun 1014 dan ditolak oleh Gereja Ortodoks Timur, Gereja Ortodoks Oriental, dan Gereja Timur.

Apakah istilah Filioque dimasukkan, serta bagaimana istilah tersebut diterjemahkan dan dipahami, dapat memiliki implikasi penting terhadap cara seseorang memahami doktrin utama Kristen tentang Tritunggal Mahakudus. Bagi sebagian orang, istilah ini menyiratkan anggapan yang terlalu meremehkan peran Bapa dalam Tritunggal; bagi yang lain, penyangkalan terhadap apa yang diungkapkannya menyiratkan meremehkan peran Putra dalam Trinitas. Seiring berjalannya waktu, istilah tersebut menjadi simbol konflik antara Kekristenan Timur dan Kekristenan Barat, meskipun terdapat upaya untuk menyelesaikan konflik tersebut. Di antara upaya-upaya awal harmonisasi adalah karya-karya Maximus sang Pengaku Iman, yang secara khusus dikanonisasi secara independen oleh gereja-gereja Timur dan Barat.

Pada tahun 1995, Dewan Kepausan untuk Mempromosikan Persatuan Umat Kristiani (PCPU) menyatakan bahwa teka-teki Filioque mungkin merupakan masalah bahasa, bukan masalah teologi.[18] Kata ἐκπορεύεσθαι dalam bahasa Yunani menunjukkan penyebab utama atau penyebab utama; sedangkan kata Latin prosedure menunjukkan suatu prosesi tetapi bukan dari suatu tujuan akhir. Versi Latinnya mungkin lebih akurat diterjemahkan kembali ke dalam bahasa Yunani sebagai προϊέναι, daripada ἐκπορεύεσθαι. Metropolitan John Zizioulas menyatakan bahwa posisi PCPCU menunjukkan tanda-tanda positif rekonsiliasi masalah Filioque antara gereja Timur dan Barat.[19]

Abad ke-20 menyaksikan kebangkitan neo-Palamisme, cq "Gerakan Neo-Ortodoks", di Gereja Ortodoks Timur. Menurut sudut pandang ini, yang muncul untuk membela perbedaan Palamite antara esensi dan energia, teologi barat didominasi oleh filsafat rasional, sedangkan teologi Ortodoks didasarkan pada visi pengalaman tentang Tuhan dan kebenaran tertinggi. Menurut neo-Palamisme, ini adalah pembagian utama antara Timur dan Barat.

Neo-Palamisme berakar pada kontroversi Hesychast atau kontroversi Palamite (abad ke-14),[20][21] di mana Gregory Palamas memberikan pembenaran teologis untuk praktik hesychasm Ortodoks yang telah berusia berabad-abad. Kontroversi hesychast mengarah pada pembedaan lebih lanjut antara Timur dan Barat, sehingga memberikan tempat yang menonjol pada praktik kontemplatif dan teologi di Gereja Ortodoks Timur. Penerbitan Philokalia pada tahun 1782, yang mengarah pada kebangkitan hesychasm, diterima secara khusus oleh gereja-gereja Ortodoks Slavia. Bersama dengan pentingnya hal ini pada abad ke-20 oleh aliran teologi Ortodoks Paris, hal ini "menyebabkan hesychasm menjadi definitif bagi teologi Ortodoks modern yang belum pernah ada sebelumnya,"[22][23] dengan perbedaan Palamite Essence–energinya.

Menurut para teolog Ortodoks Timur modern ini, teologi barat terlalu bergantung pada teologi kataphatic. Menurut Steenberg, para teolog Timur menegaskan bahwa agama Kristen pada hakikatnya adalah kebenaran apodiktik, berbeda dengan dialektika, dianoia, atau pengetahuan yang dirasionalisasi yang merupakan kebenaran yang dicapai melalui spekulasi filosofis.[25]

Meskipun Thomas Aquinas berpendapat bahwa teologi kataphatic dan apophatic perlu menyeimbangkan satu sama lain, Vladimir Lossky berpendapat, berdasarkan bacaannya tentang Dionysius the Areopagite dan Maximus the Confessor, bahwa teologi positif selalu lebih rendah daripada teologi negatif. Menurut mistisisme Lossky, cq gnosiologi, adalah ekspresi teologi dogmatis yang unggul,[27] sedangkan teologi positif adalah langkah menuju pengetahuan unggul yang dicapai melalui negasi. Menurut Lossky, perbedaan antara Timur dan Barat disebabkan oleh penggunaan filsafat metafisika pagan oleh Gereja Katolik, dan perkembangannya, skolastisisme, bukan pengalaman mistis dan aktual tentang Tuhan yang disebut theoria, untuk memvalidasi dogma-dogma teologis Katolik. Kekristenan. Lossky berpendapat bahwa oleh karena itu Ortodoks Timur dan Katolik telah menjadi "orang yang berbeda",[28] dengan menyatakan bahwa "Wahyu membuat jurang pemisah antara kebenaran yang dinyatakannya dan kebenaran yang dapat ditemukan melalui spekulasi filosofis."[29]

Lossky memiliki pengaruh yang kuat pada teologi Ortodoks Timur abad ke-20, dan memengaruhi John Romanides, yang juga seorang teolog berpengaruh. Romanides melihat adanya dikotomi yang kuat antara pandangan Ortodoks Timur dan Barat, dengan alasan bahwa pengaruh kaum Frank, dan penerimaan Barat terhadap teologi Agustinus, adalah titik awal dari teologi rasional Barat, dan dikotomi antara Timur dan Barat.[30]

Sentimen yang sama juga diungkapkan oleh gerakan Slavofil awal (abad ke-19) dalam karya Ivan Kireevsky dan Aleksey Khomyakov . Kaum Slavofil mencari rekonsiliasi dengan berbagai bentuk agama Kristen, seperti yang dapat dilihat dalam karya-karya pendukungnya yang paling terkenal, Vladimir Solovyov.

Hesychasm, "menjaga ketenangan", adalah tradisi mistik doa kontemplatif dalam Gereja Ortodoks Timur, yang sudah ada pada abad keempat Masehi pada masa para Bapak Gurun. Tujuannya adalah teosis, pendewaan yang diperoleh melalui praktik doa kontemplatif,[31][32][33][34][35] tahap pertama dari theoria, yang mengarah pada "visi Tuhan".[25][36][37] Terdiri dari tiga tahap, yaitu katarsis, theoria, dan penyelesaian pendewaan, cq theosis.[32]

Pengetahuan tentang Tuhan dicapai melalui theoria , "visi tentang Tuhan".[38][39][40][32] Ini juga disebut sebagai mengalami cahaya Tuhan yang tidak diciptakan[36], cahaya Tabor Transfigurasi Kristus[41][42] seperti yang terlihat oleh rasul di Gunung Tabor.

Kontroversi Hesychast adalah perselisihan teologis di Kekaisaran Bizantium pada abad ke-14 antara pendukung dan penentang Gregory Palamas. Gregory Palamas dari Thessaloniki (1296-1359) memberikan pembenaran teologis atas praktik hesychasm. Palamas menyatakan ada perbedaan antara hakikat (ousia) dan tenaga (energeia) Tuhan. Meskipun Tuhan pada hakikatnya tidak dapat diketahui dan ditentukan, visi Tuhan dapat dicapai ketika energinya dilihat dengan mata sebagai Cahaya yang Tidak Diciptakan. Palamas merumuskan gagasannya tentang perbedaan ini sebagai bagian dari pembelaannya terhadap praktik hesychasmos biara Athonite terhadap tuduhan bid'ah yang diajukan oleh sarjana humanis dan teolog Barlaam dari Calabria.[43][44]

Para teolog Ortodoks Timur umumnya menganggap perbedaan ini sebagai perbedaan yang nyata, dan bukan sekedar perbedaan konseptual.[45] Secara historis, pemikiran Kristen Barat cenderung menolak pembedaan esensi-energi sebagai sesuatu yang nyata dalam kasus Tuhan, dan mencirikan pandangan tersebut sebagai pengenalan sesat mengenai pembagian yang tidak dapat diterima dalam Trinitas dan sugestif terhadap politeisme.[46][47]

Pada akhir abad ke-20 terjadi perubahan sikap para teolog Katolik terhadap Palamas.[48] Meskipun beberapa teolog Barat melihat teologi Palamas memperkenalkan perpecahan yang tidak dapat diterima dalam diri Tuhan, yang lain telah memasukkan teologinya ke dalam pemikiran mereka sendiri,[49] mempertahankan bahwa tidak ada konflik antara ajarannya dan pemikiran Katolik.[50]

Sergey S. Horujy menyatakan bahwa "studi hesychast mungkin memberikan pandangan baru terhadap beberapa perpecahan antar-pengakuan lama, mengungkap titik-titik kemiripan yang tak terduga",[51] dan Jeffrey D. Finch mengatakan bahwa "masa depan pemulihan hubungan Timur-Barat tampaknya mengatasi pendekatan modern polemik neo-skolastik dan neo-Palamisme".[52]

Paus Yohanes Paulus II berulang kali menekankan rasa hormatnya terhadap teologi Timur sebagai pengayaan bagi seluruh Gereja. Meskipun dari sudut pandang Katolik terdapat ketegangan mengenai beberapa perkembangan praktik hesychasm, kata Paus, tidak dapat disangkal kebaikan niat yang mengilhami pembelaannya.[53][54]

Jeffrey D. Finch mengklaim bahwa "masa depan pemulihan hubungan Timur-Barat tampaknya mengatasi polemik modern neo-skolastisisme dan neo-Palamisme".

Gereja Katolik menganggap bahwa perbedaan antara teologi Timur dan Barat lebih bersifat saling melengkapi dan bukan bertentangan, sebagaimana tercantum dalam dekrit Unitatis redintegratio Konsili Vatikan Kedua, yang menyatakan:

Dalam mempelajari wahyu, Timur dan Barat mengikuti metode yang berbeda, dan mengembangkan pemahaman serta pengakuan mereka akan kebenaran Tuhan secara berbeda. Maka tidak mengherankan jika dari waktu ke waktu salah satu tradisi semakin mengapresiasi secara penuh beberapa aspek misteri wahyu dibandingkan tradisi lainnya, atau mengungkapkannya dengan lebih baik. Dalam kasus seperti ini, berbagai ekspresi teologis ini sering kali dianggap saling melengkapi dan bukannya bertentangan. Dalam kaitannya dengan tradisi teologis Gereja Timur yang autentik, kita harus mengakui betapa mengagumkan akar tradisi teologis tersebut dalam Kitab Suci, dan bagaimana tradisi tersebut dipupuk dan diungkapkan dalam kehidupan liturgi. Kekuatan mereka juga diperoleh dari tradisi hidup para rasul dan dari karya para Bapa Gereja dan penulis spiritual Gereja-Gereja Timur. Dengan demikian, ajaran-ajaran tersebut memajukan tatanan kehidupan Kristiani yang benar dan, tentu saja, membuka jalan menuju visi kebenaran Kristiani yang utuh.[55]

Sikap Gereja Katolik juga diungkapkan oleh Paus Yohanes Paulus II dalam gambaran Gereja "bernafas dengan kedua paru-parunya".[56][57] Maksudnya adalah harus ada kombinasi antara temperamen “Latin” yang lebih rasional, yuridis, dan berwawasan organisasi dengan semangat intuitif, mistis, dan kontemplatif yang terdapat di Timur.[58]

Katekismus Gereja Katolik, yang mengutip dokumen Konsili Vatikan Kedua dan Paus Paulus VI, menyatakan:

“Gereja mengetahui bahwa dalam banyak hal ia tergabung dengan orang-orang yang dibaptis yang dihormati dengan nama Kristiani, tetapi tidak menganut iman Katolik secara keseluruhan atau tidak memelihara kesatuan atau persekutuan di bawah penerus Petrus” (Lumen gentium 15). Mereka “yang percaya kepada Kristus dan telah dibaptis dengan benar, ditempatkan dalam persekutuan tertentu, meskipun tidak sempurna, dengan Gereja Katolik” (Unitatis redintegratio 3). Dalam Gereja Ortodoks, persekutuan ini begitu mendalam "sehingga hanya sedikit yang bisa dicapai untuk mencapai kepenuhan yang memungkinkan perayaan Ekaristi Tuhan bersama" (Paulus VI, Discourse, 14 Desember 1975; lih. Unitatis redintegratio 13-18).[59]

Pada tanggal 10 Juli 2007, Kongregasi Ajaran Iman menerbitkan sebuah dokumen,[60] yang disetujui oleh Paus Benediktus XVI, yang menyatakan bahwa gereja-gereja Timur dipisahkan dari Roma (gereja-gereja anggota Gereja Ortodoks Timur, Ortodoks Oriental, dan Gereja Asiria Gereja Timur) dan oleh karena itu “ada kekurangan dalam kondisi mereka sebagai Gereja partikular”, dan bahwa perpecahan ini juga berarti bahwa “kepenuhan universalitas, yang merupakan ciri Gereja yang diperintah oleh Penerus Petrus dan para Uskup di persekutuan dengannya, tidak sepenuhnya terwujud dalam sejarah."[61]

Pada tanggal 3 Juli 2019, terungkap bahwa selama pertemuan Vatikan dengan Uskup Agung Ortodoks Ayub Telmessos, yang mewakili Patriark Ekumenis Gereja Ortodoks Bartholomew dari Konstantinopel, pada hari raya St. Petrus dan Paulus pada tanggal 29 Juni 2019, Paus Fransiskus menyatakan bahwa persatuan daripada menyamakan perbedaan harus menjadi tujuan antara Gereja Katolik dan Ortodoks.[62] Paus Fransiskus juga memberi Bartholomew sembilan potongan tulang yang diyakini milik Santo Petrus dan dipamerkan pada Misa publik yang diadakan di Vatikan pada November 2013 untuk merayakan "Tahun Iman".[63][62] Meskipun mengadakan pertemuan "ramah" dengan Presiden Rusia Vladimir Putin, yang memiliki sejarah hubungan baik dengan Paus,[64] pada tanggal 4 Juli 2019 ketegangan antara Vatikan dan gereja Ortodoks Rusia masih tetap ada, dengan Paus Fransiskus menyatakan bahwa kecil kemungkinannya dia akan mengunjungi Rusia kecuali Putin setuju untuk tidak menyertakan Gereja Ortodoks Rusia dalam kunjungan tersebut.[65] Putin juga menyatakan kepada Paus bahwa dia tidak akan mengundang Paus ke Rusia tanpa syarat ini.[66] Paus Fransiskus juga mengisyaratkan bahwa ia bersedia mendukung keprihatinan Gereja Katolik Yunani Ukraina, yang telah menyatakan penolakannya terhadap intervensi Putin di Ukraina dan hubungan Vatikan dengan Putin saat ini.[67]

Pada awal pertemuan dua hari Vatikan dengan para pemimpin Katolik Yunani Ukraina pada tanggal 5 Juli 2019, Paus Fransiskus mengisyaratkan bahwa dia mendukung keprihatinan Gereja di Ukraina dan menyerukan bantuan kemanusiaan yang lebih besar ke Ukraina. Paus sebelumnya juga menyatakan kekecewaannya atas peran Gereja Ortodoks Rusia dalam konflik di Ukraina pada awal tahun 2019.[68] Dalam pertemuan tanggal 5 Juli 2019, Paus Fransiskus juga menuduh Gereja Ortodoks Rusia juga berupaya memanipulasi "agama lain" di Ukraina.[69]

© 2024 — Senayan Developer Community

Salam bu Ingrid dan Pak Stef

Dalam forum tanya jawab ini, saya hanya ingin mengemukakan perbedaan pandangan antara Gereja Katolik Orthodox dan Gereja Katolik Roma.

Katak Ortho= Lurus, benar Doxa= Aliran, doktrin, Jadi Orthodoxa = Aliran yang lurus, ini tentu untuk menjawab aliran-aliran sesat yang muncul pada waktu itu. dan nama “Katolik Roma” muncul pada akhir abad X/XI kalau tidak salah. gereja Katolik Orthodoxa mempertanhankan nilai-nilai kebenaran rasulia, dan doktrin-doktrin gereja purba. Gereja Katolik Orthodoxa ini juga disebut sebagai Gereja Katolik alur utama atau Gereja Orthodoxa Kalsedion. dan Gereja itu sekarang ada di Indonesia, dan mereka mengakui konisili dari I- VII dan mengakui sakramen-sakramen.

Lalu pertanyaan saya, apa yang membedakan antara Gereja Katolik Orthodoxa dan Gereja Katolik Roma? apa alasan mereka. Di Indonesia gereja Katolik Orthodoxa alur utama atau Kalsedion beredar di Indonesia. Aquilino Amaral

Shalom Aquilino Amaral,

Pertama- tama harus dipahami terlebih dahulu hal apa yang memisahkan antara gereja yang menamakan diri sebagai gereja Katolik Orthodox Chalcedon (Kalsedon), dengan Gereja Katolik. Namun sebelumnya mari kita lihat dahulu apa sebenarnya yang disebut Gereja- gereja yang mengikuti ajaran Kalsedon dan mana yang tidak. Untuk itu mari melihat pada sejarah Gereja:

Gereja- gereja Orthodox Yunani = gereja- gereja Timur Orthodox.

Gereja- gereja Timur Orthodox ini menerima hasil Konsili Kalsedon (451) namun mereka tidak menerima otoritas Bapa Paus. Oleh karena itu, walaupun gereja -gereja Timur Orthodox menyebut diri mereka sendiri sebagai Gereja Katolik Orthodox, namun mereka sesungguhnya tidak tergabung secara penuh dengan Gereja Katolik (meskipun mereka menerima ketujuh Konsili yang dilakukan dari abad ke-4 sampai ke-8). Menarik untuk diketahui bahwa penolakan akan otoritas Paus ini baru efektif berlangsung setelah skisma di tahun 1054, sebab sebelumnya Bapa Paus di Roma tetap diakui sebagai uskup/ penatua jemaat yang pertama di antara para uskup lainnya/ “first among equals“.

Gereja Katolik Roma baru ada abad ke 7/8?

Tentu jawabannya tidak. Istilah Gereja “Katolik” sudah ada sejak abad awal, walau pertama kali diresmikan pada tahun 107 ketika Santo Ignatius dari Antiokhia menjelaskan dalam suratnya kepada jemaat di Syrma 8, untuk menyatakan Gereja Katolik sebagai Gereja satu-satunya yang didirikan Yesus, untuk membedakan umat Kristen dari para heretik pada saat itu yang menolak bahwa Yesus adalah Allah yang sungguh-sungguh menjelma menjadi manusia, yaitu heresi/ bidaah Docetism dan Gnosticism. Nah Gereja Katolik yang dimaksud di sini adalah Gereja Katolik yang mengakui otoritas uskup Roma, sebagai penerus rasul Petrus. Silakan membaca di sini, silakan klik, untuk mengetahui ke-empat ciri- ciri Gereja yang didirikan Kristus, yang mengajarkan doktrin yang lengkap dan benar/ lurus.

Gereja ‘Katolik’ Orthodox Kalsedon tidak berada dalam persekutuan penuh dengan Gereja Katolik, dan karena itu keduanya tidak sama. Perbedaannya, gereja Orthodox tidak mengakui otoritas Bapa Paus. Gereja Orthodox ini tidak sama dengan ke-22 Gereja- gereja Timur yang ada dalam persekutuan penuh dengan Gereja Katolik, yang namanya dapat anda baca di sini, silakan klik.

Walaupun gereja Orthodox mengajarkan ajaran para rasul, mereka tidak mengajarkan keseluruhan Tradisi para rasul, yang sejak awal mengakui otoritas kepemimpinan uskup Roma (yaitu Paus). Bukti tentang keutamaan Petrus dan para penerusnya (yaitu Paus), sudah pernah ditulis dalam serial artikel Keutamaan Petrus bagian 1 sampai dengan 5, yang sudah ditayangkan di situs ini (bagian 6-nya menyusul).

Namun meskipun Gereja- gereja Orthodox tersebut tidak berada dalam persekutuan penuh dengan Gereja Katolik, mereka mempunyai hubungan yang erat dengan Gereja Katolik, sebab mereka juga mengakui ketujuh sakramen, dan mempunyai jalur apostolik. Dalam kondisi darurat (misalnya karena di ambang maut), seseorang dari gereja Orthodox dapat meminta imam dari Gereja Katolik agar memberikan sakramen Minyak suci (Urapan orang sakit), Ekaristi dan Pengakuan dosa.

Demikian yang dapat saya sampaikan untuk pertanyaan anda, semoga bermanfaat.

Salam kasih dalam Kristus Tuhan, Ingrid Listiati- katolisitas.org

Laporkan bahwa restoran sudah tutup atau info tidak akurat

Pemisahan antara Gereja Orthodox dan Gereja Katolik di tahun 1054.

Sebenarnya pemisahan ini bukan disebabkan oleh suatu kejadian sesaat, tetapi karena akumulasi dari banyak kejadian, yang memang telah bertubi- tubi terjadi melanda Gereja Timur (dengan pusatnya Konstantinopel) dan Barat (Roma).  Kita ketahui bahwa di abad- abad awal, banyak ajaran sesat yang terjadi di Gereja- gereja Timur (Arianisme, Nestorian, Apolloniarism, Monophysites, Ebionite, Monothelistism, dst), meskipun daerah tersebut lebih ‘dekat’ dengan tempat asal Kristus dan para rasul. Gereja Roma, yang dipimpin oleh penerus rasul Petrus selalu tampil sebagai penegak doktrin, jika terjadi semacam kesimpangsiuran pengajaran. (Ini sesungguhnya merupakan penggenapan dari Sabda Allah, bahwa Paus yang berbicara atas nama Rasul Petrus, melakukan kuasa “mengikat dan melepaskan”, dan Tuhan menjanjikan bahwa apa yang ditetapkannya tidak mungkin salah/ tidak mungkin dikuasai oleh maut Mat 16:18-19). Namun, kenyataannya, hal ini sedikit banyak memicu adanya semacam ‘persaingan’ politis antara Gereja Timur dan Barat. Selanjutnya, Gereja Timur ingin memasukkan pengaruh bahasa/ budaya Yunani, sedangkan Gereja Barat, budaya Latin.

Persaingan ini mencapai puncaknya pada dua hal. Pertama, tentang hal ‘Filioque‘, yang sudah pernah dibahas di sini, silakan klik, lihat point 3.

Kedua, tentang hal “roti tak beragi”. Ketika pasukan perang salib dimulai tahun 1090, para patriarkh Byzantin yang singgah di Konstantinopel menyerang gereja- gereja Latin yang sudah ada di sana sejak jaman kaisar Konstantin. Mereka mengatakan bahwa Ekaristi mereka tidak sah karena menggunakan roti tidak beragi,-sesuatu yang memang telah dilakukan oleh Gereja Barat, dan Gereja Armenia sejak awal, untuk mengikuti teladan Kristus yang menggunakan roti tak beragi pada Perjamuan Terakhir. Namun para patriarkh Byzantin itu (dipimpin Michael Cerularius) ingin memaksakan ritus Byzantin -yang menggunakan roti beragi untuk perjamuan- kepada umat Roma yang tinggal di Konstantinopel tersebut. Cerularius membuka tabernakel dan membuang Hosti yang sudah dikonsekrasikan itu ke jalan. Oleh sebab itu, Gereja Roma kemudian mengecam tindakan patriarkh Cerularius tersebut. Setelah kejadian itu, Gereja Roma mengutus delegasi yang dipimpin oleh Cardinal Humbertus untuk mengusahakan perdamaian. Namun sayangnya, karena faktor kelemahan manusia (dalam hal ini emosi yang meledak- ledak dari kedua belah pihak), perundingan diakhiri dengan ekskomunikasi dari kedua belah pihak kepada kedua belah pihak; sesuatu yang berakibat terlalu jauh dan sebenarnya tidak diinginkan oleh kedua belah pihak. Sebab ekskomunikasi itu sebenarnya hanya berlaku terhadap sang individu, dan bukan terhadap semua orang dalam komunitas. Lebih lanjut tentang apa itu ekskomunikasi, silakan klik di sini.

Berikut ini adalah kutipan deklarasi yang disetujui bersama antara Paus Paulus VI dengan Patriarkh Konstantinopel Athenagoras I (1965):

Among the obstacles along the road of the development of these fraternal relations of confidence and esteem, there is the memory of the decisions, actions and painful incidents which in 1054 resulted in the sentence of excommunication leveled against the Patriarch Michael Cerularius and two other persons by the legate of the Roman See under the leadership of Cardinal Humbertus, legates who then became the object of a similar sentence pronounced by the patriarch and the Synod of Constantinople.

Thus it is important to recognize the excesses which accompanied them and later led to consequences which, insofar as we can judge, went much further than their authors had intended and foreseen. They had directed their censures against the persons concerned and not the Churches. These censures were not intended to break ecclesiastical communion between the Sees of Rome and Constantinople. (terjemahannya: …. ekses- ekses yang mengikutinya dan sesudahnya mengarah kepada akibat- akibat yang, menurut hemat kami, pergi jauh dari apa yang dimaksud dan diduga oleh para pengarangnya [dalam hal ini Cerularius dan Kardinal Humbertus yang diutus oleh Paus]. Mereka mengarahkan sangsi kepada orang- orang yang terlibat dan bukan kepada Gereja- gereja. Sangsi ini tidak dimaksudkan untuk memecahkan persekutuan antara Tahta Suci Roma dan Konstantinopel.”